Thursday 10 February 2011

Paspor oh Paspor

Sekitar tahun 2007-2008, salah satu maskapai penerbangan milik negara tetangga yang terkenal suka memberikan promosi tiket murah, membuka jalur penerbangan baru Jogja-Singapura. Tiket promo yang ditawarkan 99rb, sekali jalan. Suami saya jelas-jelas tergiur dengan penawaran tersebut. Ditambah lagi, ada peraturan baru yang meniadakan biaya fiskal asalkan kita sudah memiliki NPWP.

Sayangnya justru saya waktu itu yang belum pede bepergian membawa anak berumur 7thn dan bayi berusia beberapa bulan pergi jauh (Singapura itu biarpun dekat tapi kan kesannya jauh karena ke luar negeri :-D). Tanpa mbak asisten pula, sedangkan bayi saya sudah berhenti minum asi dan mulai makan bubur bayi. Yang terbayang adalah repot membawa termos air panas, botol-botol bayi dan sterilizer. Belum lagi bayangan kerepotan menyiapkan bubur bayinya, yang selama ini homemade, karena si bayi tidak begitu cocok dengan produk bubur bayi instant. Tawaran bepergian ke luar negeri terpaksa saya lewatkan. Apa ya istilahnya ? Kalah sebelum berperang. Belum-belum saya sudah keder duluan pergi keluar negeri bawa bayi, padahal belum juga dicoba.

Maka begitulah, selama anak kedua belum makan makanan orang dewasa, liburan keluarga kami tidak jauh-jauh dari Jogja-Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang tidak perlu paspor dan selalu ketemu kompor untuk menyiapkan makan anak-anak. Liburan pertama kali ke luar negeri segera terlupakan.
Menjelang ulang tahun ke-3 Bram (si bayi anak kedua itu) saya terpikir kembali untuk liburan ke luar negeri. Karena ternyata jika dihitung-hitung liburan ke Singapura lebih murah dibandingkan liburan ke luar pulau di Indonesia. Apalagi jika kota lain di Indonesia yang dituju tidak tersedia penerbangan langsungnya dari Jogja dengan harga tiket promo. Sebagai perbandingan, tiket pesawat ke Bali sekali jalan sekitar 400rb/orang/sekali jalan. Sedangkan tiket promo akhir 2009 ke Singapura hanya 149rb/orang/sekali jalan. Dengan alasan memberikan pengalaman terbang pertama kalinya bagi Bram di ulang tahun ke-3nya, dan liburan keluarga pertama kalinya ke luar negeri, saya segera memesan tiket promo melalui internet. Setelah tiket konfirm dipesan, saya baru ingat, lho kan kami bertiga (saya dan anak-anak) belum punya paspor ? Judulnya saja pengalaman ke luar negeri pertama kali gitu lho. Oke, jadi tugas pertama saya adalah membuat paspor untuk diri sendiri dan anak-anak.



Saya mulai mengumpulkan informasi, dokumen apa saja yang saya perlukan untuk mengurus paspor. Inilah yang saya temukan :
Dokumen pembuatan paspor dewasa :
- Akte kelahiran atau Ijazah (aku pake’ Ijazah)
- Surat keterangan ganti nama (jika ada pergantian nama)
- KTP
- KartuKeluarga
- Surat nikah (bagi yang sudah menikah)
Dokumen pembuatan paspor anak-anak :
- Akte kelahiran
- KTP Orangtua
- Kartu Keluarga
- Paspor orangtua (kecuali jika orangtuanya juga sedang mengajukan paspor)
- Surat pernyataan orangtua (ada di bagian formulir Imigrasi), ditanda tangani orangtua dengan materai 6rb
- Surat keterangan dari sekolah (jika sudah sekolah)
- Surat nikah orangtua
- Surat keterangan domisili

Terlihat mudah bukan ? Harusnya prakteknya juga semudah teorinya. Tapi mari kita buktikan :)


Kalau bisa bayar, kenapa digratisin ?

Untuk dokumen yang disyaratkan untuk pembuatan paspor saya, semuanya lengkap, KTP,KK, Akte lahir,surat nikah. Tinggal melengkapi dokumen untuk pembuatan paspor anak-anak. Iyog, sulung saya sudah kelas 4 SD, maka saya perlu minta surat keterangan dari sekolahnya. Untungnya di SD Iyog, bagian administrasinya berpengalaman membuatkan surat keterangan untuk kantor Imigrasi. Mereka sudah punya template suratnya, tinggal mengganti nama siswa dan keterangan lainnya, surat sudah siap ditanda tangani Kepala sekolah dalam hitungan menit. Oke, beres.


Segera meluncur ke Kantor Imigrasi Jogja yang ada di Jl. Solo. Formulir pengajuan paspor seharusnya GRATIS, tapi kenyataannya harus bayar 7ribu/orang. Saya sudah mengantisipasi karena sebelumnya saya sempat baca di salah satu blog bahwa harga formulir di kota besar bahkan mencapai 15rb. Dan tidak ada satupun pemohon yang protes dengan pungutan formulir ini. Saya juga lagi gak ingin protes, jangan-jangan masih diselimuti euforia gembira mau liburan ke luar negeri...hihihi.

Kalau bisa dibikin susah, kenapa dibikin mudah ?
Surat pernyataan orangtua yang katanya ada di bagian formulir Kantor Imigrasi, ternyata tidak semudah itu mendapatkannya. Saya hanya diberi satu lembar surat pernyataan yang mana harus difotocopy sendiri karena saya membutuhkan dua lembar surat untuk pembuatan paspor dua anak. Setelah diisi dan ditanda-tangani, surat pernyataan itu ditolak oleh bagian pemeriksa berkas. Katanya format surat keterangan yang saya isi adalah form surat yang lama, saya harus mengulang menulis lagi di form yang baru diberikan. Lagi-lagi hanya selembar dan harus difotocopy sendiri. Memang di Kantor Imigrasi lantai satu ada tempat fotocopy, tapi tetap saja butuh waktu dan tenaga untuk naik turun tangga. Kenapa tidak diberikan dua lembar form sih ? Dan kenapa bagian pemeriksa berkas tidak berkoordinasi dengan bagian informasi yang memberikan form yang salah kepada saya ?


Surat keterangan domisili anak juga sempat membuat saya bingung. Seharusnya dari Kartu Keluarga saja sudah terlihat bahwa anak tinggal bersama orangtuanya, yang mana artinya anak berdomisili di tempat yang sama dengan orangtuanya. Petugas di kantor kelurahan juga bingung waktu saya mintai surat keterangan domisili. Akhirnya saya mengarang saja format suratnya, dan meminta tanda-tangan petugas kelurahan. Beres deh. Situ maunya mbulet, saya ngarang aja deh biar cepet.

Dokumen untuk pengajuan paspor anak-anak beres, ada lagi yang membuat dokumen yang saya ajukan tidak langsung lolos dari meja pemeriksa berkas di kantor Imigrasi. Masalahnya, status saya di KTP masih sebagai karyawan swasta, sedangkan saya sekarang sudah tidak bekerja kantoran lagi. Melihat status karyawan swasta, pihak Imigrasi meminta surat rekomendasi dari kantor tempat saya bekerja. Ketiwasan … (bekas) kantor saya kan di Jakarta, sedangkan saya mengajukan paspor di Jogja. Belum lagi saya memang sudah tidak bekerja lagi. Apakah artinya saya harus mengganti KTP ? Petugas menyarankan saya membuat surat pernyataan pergantian status pekerjaan yang ditandatangani pihak Kecamatan. Artinya saya harus minta surat pengantar ke pak RT, Pak Dukuh dan dibuatkan surat oleh pihak Kelurahan untuk kemudian ditandatangani Kantor Kecamatan. Walah, segitu ribetnya ya ? Gak mau kalah dengan Facebook, status di KTP-pun harus selalu update. Lagi-lagi saya berimprovisasi mengarang surat keterangan pergantian status KTP, dan meminta petugas di Kantor Kelurahan untuk menandatangani surat yang sudah saya ketik. Lagi-lagi dokumen saya lolos berkat kreativitas mengarang bebas.


Untuk menyiapkan dokumen yang diminta, saya perlu waktu setengah hari sendiri. Sebenarnya bisa saja saya gak mau repot dengan menyerahkan berkas pada orang untuk “dibantu”. Tapi karena ingin tahu alur pembuatan paspor, saya bertahan dengan mengurusnya sendiri. Tak mengapa harus bolak-balik kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan, asalkan lewat jalan yang baik benar. Akhirnya setelah menunggu lebih dari 20 menit, sambil mengawasi tumpukan map saya agar tidak diserobot pemohon lain, nama saya dipanggil dan dikasih jadwal foto dan wawancara tertanggal 3 hari kemudian. Lega, satu step terlewati.

Kalau bisa judes, kenapa harus ramah ?
Di pagi hari yang dijadwalkan untuk foto dan wawancara, saya sudah siap bersama anak-anak, menunggu dipanggil. Semakin pagi datangnya, semakin pendek pula antriannya. Acara foto berjalan lancar, meskipun untuk pemotretan anak kedua petugasnya mengulang foto berkali-kali. Apa pasal ? Rupanya anak saya tersenyum terus lihat kamera, konon katanya gak boleh senyum ya ketika berfoto untuk paspor ? Hasilnya ? foto anak-anak oke banget, terlihat segar dan tersenyum ceria. Sedangkan saya, seperti biasa foto setengah badan saya gak pernah bener. Di KTP ataupun SIM juga begitu. Wajah menjadi cembung karena difoto dalam jarak terlalu dekat, tidak sempat tersenyum manis dan rambut lepek keringetan (saya belum berjilbab waktu itu).



Bagian wawancara yang membuat saya agak kesal. Melihat status pekerjaan saya yang “hanya” ibu rumah tangga, dicecarlah dengan pertanyaan-pernyaan menyudutkan seperti “Mau ngapain keluar negeri ?”, “Suaminya mengijinkan pergi gak?”, “Berapa lama di sana”, dll. Lah…emang kenapa kalau ibu rumah tangga bepergian ke luar negeri ? gak boleh ? Karena males berdebat, saya tunjukin aja tiket pesawat pulang pergi. Mingkem deh si ibu yang mewawancarai. Langsung tanda tangan, dan menyuruh saya kembali 3 hari lagi.



Tiga hari kemudian, 3 paspor sudah ada di tangan, sementara perjalanan baru akan dimulai 3 bulan mendatang. Banyak sekali angka 3-nya ya ?
Ya, meskipun perjalanan bikin paspor ternyata tidak semulus bayangan, tapi bangga lho berhasil melewati tahapan pertama persiapan ke luar negeri tanpa calo. Yang penting selain modal sabar kita juga harus ngoprak-ngoprak petugas pelayanan, karena kadang kalau gak ditanya mereka memilih jalan dengan kecepatan super pelan ketika melayani kita. -shant-

5 comments:

  1. hai mbak shanti, salam kenal. duh saya merasa makin krisis PD nih bersatu dengan 2 orang yang dah begitu lihai mengolah kata plz ijinkan saya 'berguru' pada kalian ya :)

    ReplyDelete
  2. haluwwww mb Adel ...salam kenal juga yaa....seneng dapet temen (udah ngaku2 temen aja niy) baru. walah saya juga pemula mbak, nulisnya juga masih kesandung-sandung :)

    ReplyDelete
  3. kita 'dipertemankan' oleh mbak tita ya hehe. btw pengalaman bikin paspornya mbak shanti n kelg unik n penuh perjuangan euy. Dulu jamannya aku manja, bikin paspor utk kami (aku dan Rey) via travel agen n harga utk paspor anak di atas sejuta (buseeeet deh) kalo yg dewasa sih sekitar 600 ribuan, padahal saat itu masih peraturan ibu n anak balita bersatu dalam satu paspor yang artinya cuma 1 buku paspor tapi biayanya lebih dari 1,5 juta (huh sebel bgt brasa dirampok). utk paspor kedua aku urus sendiri kayak mbak shanti cuma ga pake surat keterangan skulnya Rey, cuma ket dr kantorku jadi harganya sesuai ketentuan. selain murah, kita juga puas krn jd tau prosesnya ya mbak

    ReplyDelete
  4. ho oh mbak, suwamiku thn 2000 bikin paspor diurusin agen gitu bayar 700rb, buru2 buat berangkat training.
    ini kan karena aku udah gak ngantor, waktunya longgar, urusin sendiri deh, sekalian biar tahu alurnya.
    iya ya...kita dipertemukan sama mb Tita. mb Adel ada blog sendiri gak ? aku adanya multiply niy : http://myshant.multiply.com

    ReplyDelete
  5. hikz aku awam ama yg namanya blog (katrok yak hehe). posting disini aja awalnya binun. btw mbak tita dah kasi link blog mbak shanti, ntar aku boleh sowan ke blog dirimu kan hehe. kalo fb aku punya

    ReplyDelete